Kepribadian anak hendaknya dibina sejak kecil. Kepribadian yang dibinakan adalah kepribadian Islam yang bersumber dari Alquran dan Alhadits. Secara operasional, kepribadian ini berupa akhlak mulia yang dilakukan dan dijabarkan manusia dalam kehidupan nyata untuk mencapai kebaikan. Jadi, kebaikan
merupakan tujuan yang hendak diraih oleh setiap individu umat manusia.
Kebaikan tersebut perlu diupayakan sejak usia kanak-kanak. Upaya yang dilakukan hendaknya selaras dengan karakter dan kepribadian anak. Menurut Al-Qabasi, ada dua metode yang dapat digunakan untuk membinakan berbagai keutamaan dan akhlak mulia kepada anak-anak, yaitu keteladanan dan pembelajaran.
Metode Keteladanan dan Pembelajaran
Metode keteladanan digunakan karena pada hakikatnya anak-anak itu merupakan makhluk peniru. Anak akan meniru perbuatan, perkataan, bahkan sikap orang-orang yang hidup dalam lingkungannya. Anak akan memperoleh pengaruh dari mereka. Pengaruh yang pertama kali diterima anak dalam hidupnya ialah pengaruh dari orang-orang yang ada di sekitarnya, yaitu orang tua dan keluarganya di rumah. Pengaruh yang diperoleh anak sejalan dengan perkembangan usianya. Semakin bertambah usia, semakin luas cakupan interaksinya, semakin banyak orang yang dikenal, maka semakin besar dia memperoleh
pengaruh atau dipengaruhi orang lain.
Jadi, pembentukan sifat-sifat dan kepribadian seseorang itu bergantung pada orang-orang di sekitarnya yang terhimpun sebagai sebuah masyarakat, karena bagaimana pun manusia itu merupakan makhluk sosial. Dan sekolah merupakan bagian dari tatanan sosial, bahkan sekolah merupakan salah satu institusi sosial yang paling penting dan paling berpengaruh, terutama tatkala anak-anak berada pada tahun-tahun pertama dalam kegiatan pendidikan.
Pengaruh tersebut diperoleh anak melalui aktivitas dan tindakan, bukan melalui pertimbangan konseptual atau fungsional. Dengan demikian, kepribadian baru yang mempengaruhi anak atau yang ditiru oleh anak-anak adalah kepribadian teman-temannya di sekolah. Karena anak-anak berinteraksi dengan orang tuanya dalam waktu yang relatif lama, maka orang tua perlu mengajari dan mendidik anak-anaknya dengan berbagai prinsip dan mengarahkannya tatkala mereka melakukan kesalahan. Dalam konteks ini,
orang tua sebagai panutan bagi anak, sedangkan anak bagaikan adonan yang mudah dibentuk. Karena itu, banyak anak yang meniru perilaku orang tua atau gurunya.
Karena itu, orang tua dan guru hendaknya tampil sebagai model aktual tentang perilaku utama dan akhlak yang mulia. Di sinilah pentingnya guru memiliki sifat-sifat terpuji agar anak-anak terpengaruh olehnya. Setelah melampaui beberapa periode, perilaku seorang anak akan mencapai suatu kestabilan atau menjadi otomatis. Perilaku itu menjadi identitas dirinya dan mencerminkan kepribadiannya.
Berbagai keutamaan dan akhlak mulia juga dapat diperoleh anak-anak melalui pembelajaran. Manusia cenderung untuk mematuhi sesuatu yang logis atau perbuatan yang jelas sebab dan akibatnya. Manusia akan memiliki rasa percaya diri apabila dia mengikuti prinsip-prinsip yang didasarkan atas hal-hal logis, bukan atas dorongan nafsu belaka.
Karena itu, pencuri sekalipun akan mencari dalih-dalih yang logis, sehingga dirinya merasa tenang bahwa apa yang dilakukannya itu sesuai dengan “aturan”. Karena kecenderungan ini pula maka dalam akhlak kerap dijumpai “kuman-kuman” akhlak, karena yang disampaikan itu bersumber dari dirinya, dari diri orang lain, atau dari masyarakat. Artinya, apa yang disampaikan itu bersifat subjektif, bukan bersumber dari wahyu atau dari praktik objektif yang dibimbing wahyu.
Agar memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang logis mengenai suatu perilaku, maka orang tua dan guru perlu mengajarkan berbagai keutamaan kepada anak dengan berlandaskan pada Alquran dan Alhadits. Tentu saja anak-anak mengalami kesulitan dalam memperoleh pemahaman logis dari suatu perilaku. Karena itu, pembinaan keutamaan melalui pembelajaran ini hendaknya dilakukan setelah anak melampaui masa peniruan, yaitu pada masa anak memasuki usia mumayyiz, yaitu kemampuan membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk. Dalam praktiknya, orang tua atau guru perlu memberikan kesempatan kepada anak untuk mengemukakan alasan mengapa dia melakukan atau
meninggalkan suatu perbuatan; atau menjelaskan manfaat atau kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya. Dengan cara ini, berarti guru telah menjadikan anak sebagai pusat alam kegiatan pembelajaran. Praktik demikian sejalan dengan firman Allah, “wa fi anfusikum afala tubshirun”. Dalam peribahasa dikatakan, A‟rif nafsaka binafsika (ketahuilah dirimu melalui dirimu sendiri).
Pengetahuan tentang keutamaan itu harus diikuti dengan mengamalkannya. Keutamaan tanpa pengamalan, maka tiada bedanya antara orang mengetahui keutamaan dengan yang tidak mengetahui. Untuk mengamalkan keutamaan diperlukan pembiasaan sebab perilaku manusia itu merupakan himpunan kebiasaan. Kebiasaan merupakan upaya melakukan suatu perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dari waktu ke waktu, sehingga perbuatan itu menjadi semakin sempurna dan mudah dilakukan. Kemudian perbuatan ini akan melahirkan perilaku baru yang kemudian dibiasakan juga. Demikianlah selanjutnya, sehingga perbuatan-perbuatan itu mengakar dan menguat dalam dirinya sebagai sebuah karakter.