Hukuman yang diterima di akhirat:
Sesuai dengan hadits berikut Dari Abu Umamah Al-Bahiliy Radhiallohu ‘anhu berkata, saya mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ketika aku sedang tidur, dua orang laki-laki medatangiku dan memegang kedua lenganku, membawaku ke sebuah gunung yang tidak rata. Kemudian keduanya berkata, “naiklah”. Aku katakan. “aku tidak mampu”, keduanya berkata, kami akan memudahkanmu”. Kemudian aku naik sehingga ketika sampai dipuncak gunung tiba-tiba terdengar suara yang keras. Aku bertanya, “suara apa ini?”. Mereka berkata, “ini adalah teriakan penduduk neraka”. Kemudian keduanya membawaku, ketika itu aku mendapati orang-orang digantung dengan kaki diatas, rahang-rahang mereka robek dan mengalir darah darinya. Aku bertanya, “siapa mereka?”. Keduanya menjawab, “mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum halal puasa mereka.” (HR. An-Nasa’i)
Hukuman di dunia:
Jika dia tidak puasa karena menyakini tidak wajibnya puasa di bulan Ramadhan maka hukumannya dia bisa terancam kekafiran karena puasa Ramadhan merupakan rukun Islam. Ketika ia sengaja makan atau sengaja berbuka di Siang Hari Ramadhan, ia wajib melanjutkan puasa/tidak makan-minum sampai magrib meskipun sudah makan dan wajib bertaubat.
Apakah ia wajib mengqadha’ puasa apa tidak? Terdapat perbedaan pendapat ulama
Pendapat pertama: Wajib mengqadha’ Al-Quffal berkata, “…Dan barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadhan selain karena jima’ tanpa ‘udzur, maka wajib baginya mengqadha’ dan menahan diri dari sisa harinya. Dalam hal ini, dia tidak membayar kaffarat (tebusan) namun dia dita’zir oleh penguasa (diberi
sanksi yang pas menurut mashlahat yang dipandangnya). Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan Daud azh-Zhahiriy…” (Hilyah al-Awliyâ`:III/198)
Pendapat kedua: Tidak perlu mengqadha’ Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘anhu, dia berkata: “Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadhan tanpa adanya alasan (‘udzur), kemudian mengqadha’’ sepanjang zaman, maka tidak diterima” (Fathul Baariy, IV/161, As-Syamilah)
Pendapat terkuat wallohu a’lam adalah tidak mengqadha’, karena jika untuk mengqadha’ perlu ada dalil yang menunjukkan bahwa puasa itu perlu diqadha’. Karena kadiah fikhnya: “Hukum asal ibadah adalah terlarang (sampai ada dalil yang membolehkan)” Qadha’ puasa termasuk ibadah dan hukum
asalnya terlarang sampai ada dalil yang membolehkannya.
Apabila ada yang mengatakan, “Kok enak sekali, mereka sudah berdosa dan tidak diwajibkan qadha?”. Kita jawab, “Justru itulah hukuman bagi mereka, mereka tidak mendapatkan keutamaan dan pahala puasa Ramadhan karena mereka telah menyia-nyiakannya.”